Saturday, September 20, 2008

Harga Sebuah Nyawa

Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan berita di tv. sekilas saya melihat kerumunan orang, para wanita yang tengah berdesak-desakan satu dengan lainnya. Tubuh mereka berkeringat bercampur peluh. Tampak diantara mereka seorang wanita yang sepertinya sudah tidak sanggup berdiri, napasnya terenga-engah.

setalah itu tampak bebarapa orang laki-laki yang berusaha mengeluarkan seorang wanita tua dari kerumunan itu, seorang wanita yang sudah lanjut usia, mungkin sudah berumur sekitar 6o tahunan. Wanita tua itu di bawa ke satu teras yang masya Allah di sampingnya sudah banyak pula wanit-wanita yang terbaring lemas tidak berdaya.

Saya pun terhenyak ketika melihat judul dari tanyangan berita tersebut. 21 orang tewas, dan 16 orang lainnya luka-luka pada sebuah acara PEMBAGIAN ZAKAT.

Saya pun bertanya-tanya, berapakah jumlah zakat yang mereka perebutkan, yang akan mereka terima? ternyata jumlahnya sangatlah tidak sebanding dengan apa yang harus mereka tukar. Rp. 30.000/orang. dan tidak semua yang melakukan antri zakat mendapatkannya. bahkan yang mereka dapat adalah ajal.

ya, Rp. 30.000 yang telah menelan puluhan nyawa dan melukai belasan orang lainnya.

Ya Allah, apakah pantas sebuah nyawa berharga Rp. 30.000,-

Mungkin bagi kita yang insya Allah tergolong orang-orang yang cukup, uang Rp. 30.000,- tidak lah begitu berarti. Belanja di Mall, membeli pulsa, nonton film, atau makan di restouran berapa uang yang telah kita habiskan dengan sedemikian mudahnya.

Padahal di belahan bumi lain, atau bahkan di sebelah kita sendiri, tetangga kita begitu banyak orang-orang tidak mampu, yang untuk hidup sehari-hari saja tidak mampu mencukupi. dan puncaknya pada bulan Ramadan, dimana harusnya bulan Ramadan menjadi bulan yang penuh berkah, tapi bagi sebagian dari kita menjadi petaka.

Karena keadaan ekonomi mereka yang sulit, mereka harus rela berjam-jam antri demi mendapatkan se amplop zakat dari orang yang punya. Mereka rela berdesak-desakan, menahan peluh, kesulitan napas dan pada akhirnya mereka harus menyaksikan saudara-saudara mereka meninggal karena jatuh dan terinjak-injak.

Apakah pembagian zakat seperti ini dibenarkan?
apakah tidak lebih baik dan bijaksana jika pembagian zakat dilakukan dengan cara yang lebih baik dan bijak.
Bukankah akan lebih bijak jika menyerahkan pembagian zakatnya melalui badan atau lembaga-lemabaga amil zakat atau menyerahkan zakat itu melalui ketua-ketua RT/RW penduduk setempat?
Jikalau sekiranya kita tak mampu melakukan sendiri, bukankah kita bisa meminta bantuan saudara atau kerabat yang dapat dipercaya?
Dengan begitu tak ada yang namanya antri zakat yang menelan korban seperti yang sudah-sudah
tak ada lagi parade kemiskinan,
tak ada perasaan berhutang budi terhadap si pemberi zakat,
setidaknya menghindari kemungkinan kesombongan yang mungkin timbul dari bagi-bagi zakat karena tak tampak oleh orang lain
tak ada rakyat yang mengemis zakat, bukankah Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi pengemis?

Dan inilah tugas pemerintah, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap badan amil zakat, lembaga-lembaga zakat, sehingga para orang-orang wajib zakat tidak ragu untuk menyalurkan zakatnya melalui badan amil zakat
dan pada akhirnya tragedi ini dapat kita hindari.

Dan bukankah dalam sebuah ayat di jelaskan
" Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu menjadi ketentraman bagi mereka. Dan Allah Mendengar lagi Maha Mengetahui" surat At-Taubah ayat 103.

Maka selayaknya pemerintah wajib mengatur tentang zakat, untuk kemaslahatan umat.

No comments:

Post a Comment